Back
The Photobook Club Jakarta is a platform to discuss photobook from local Indonesian photographer and International ones.
The Photobook Club Jakarta is a platform to discuss photobook from local Indonesian photographer and International ones.
Oleh Sari Asih
Dalam sebuah perbincangan, saya dan Kurniadi Widodo sepakat bahwa karya-karya Rinko Kawauchi kerap memunculkan kualitas sinematik. Saat itu, kami tidak sempat mengelaborasi lebih lanjut kesepakatan tersebut, sepertinya kesimpulan tersebut kami terima sebagai hal yang sangat wajar. Namun, ketika Ridzki meminta saya menuliskan ide tersebut untuk menjelaskan salah satu buku Rinko, Illuminace, tentunya kewajaran tersebut harus saya jelaskan secara rasional. Sinematik? Sisi mana?
Ketika saya mencoba memasukkan kata kunci foto sinematik pada mesin pencari, yang nampak di layar komputer adalah teori maupun foto dengan format panoramik yang memiliki kualitas gambar 3 dimensi dan tata cahaya dramatik serta penonjolan gerak dalam komposisi dinamis. Kebanyakan aspek tersebut, bagi saya tak layak dipakai sebagai kata kunci dalam membaca karya-karya Rinko. Ia memang menggunakan tata cahaya dramatik, namun justru saya menangkap ekspresi datar dan bukan penonjolan 3 dimensi. Foto-foto Rinko juga cenderung statis, menggarap detail dan kebanyakan memunculkan obyek tunggal. Lebih lanjut, penggunaan format persegi semakin mengukuhkan efek statis yang cenderung stabil secara komposisi.
Karena ketiadaan akses pada buku Illuminance secara fisik, saya kembali menelaah buku tersebut melalui tautan Vimeo. Berulangkali saya memutar ulang tayangan Illuminance, saya tersadar bahwa Rinko memberi tekanan khusus pada hubungan asosiatif antar gambar dalam susunan peletakan fotonya. Secara denotatif, tidak ada hubungan langsung antara air yang menetes dari sebuah payung dengan seonggok bola mata binatang, misalnya. Bahkan kedua foto tersebut sebenarnya bukan sebuah foto yang luar biasa, ratusan dan ribuan foto payung dan hujan maupun bola mata telah saya lihat sebelumnya. Namun, ketika kedua foto tersebut dibaca bersandingan, disitulah saya menemukan alasan awal mengapa saya begitu menyukai karya Rinko, sebuah perasaan asing (rasa ketidaknyamanan yang sekaligus menenangkan) yang dibangun dari benturan kedua foto tersebut.
Bagi saya, teknik asosiatif ini identik dengan media sinema dalam membangun opini. Sinema tidak dapat disederhanakan menjadi kumpulan gambar, pemahaman muncul ketika kita menangkap hubungan antara gambar yang satu dengan gambar yang lain.
Keyakinan saya tersebut semakin menguat ketika saya menemukan sebuah teori dalam dunia sinema yang dikenal sebagai teori montase Soviet, sebuah pendekatan dalam menelaah maupun dalam proses pengkaryaan sinema yang sepenuhnya bersandar pada editing. Salah satu penggagas teori ini, Sergei Eisenstein, mencatat montase sebagai urat nadi sinema. Ia meyakini bahwa menelaah ide dasar montase dapat menjelaskan problem dasar media sinema. Montase membangun ide dari tubrukan penggalan gambar independen, dimana tiap penggalan sekuen ditangkap bukan dengan cara menyandingkannya, namun dengan cara mempertandingkannya. Lev Kuleshov, seorang sutradara, tercatat pernah melakukan eksperimentasi atas teori ini (http://www.youtube.com/watch?v=_gGl3LJ7vHc), dimana ia menyandingkan sekuen gambar seorang aktor tanpa ekspresi dengan berbagai gambar lainnya, yang kemudian membangun lapisan arti yang lain.
Teori tersebut memperkuat keyakinan saya atas pendekatan sinematik Rinko dalam membangun karyanya. Bagi saya, membaca karyaRinko dalam bentuk foto tunggal adalah penyederhanaan yang menutup kekuatan utama dari karyanya. Tiap foto Rinko adalah penggalan narasi yang menemukan artinya di dalam sekuen ketika berkontestansi dengan foto lainnya. Rinko adalah seorang editor yang jenius, oleh karena itu Rinko membutuhkan format buku foto untuk menguar potensi dirinya. Sebuah format yang menyodorkan kedekatan pada pengalaman sinematik yang menyandarkan diri pada sekuential.
(ditulis sebagai kontribusi diskusi buku Illuminance di Photobook Club Jakarta, 24 Agustus 2014)
——-
Born in 1972. Live in Bandung, Indonesia. Married with one child. Educate at design & fine art faculty, Bandung Institute of Technology. Involving herself in art management during ‘90s. Doing freelance graphic design, mainly for book design, exhibition, and stage design up until now. Start doing photography in 2009. http://sariasih.squarespace.com/
Share this:
Like this:
Related